Random

Malam tadi, seorang sahabat menyapaku. Menanyakan kabar, hingga tanpa sadar, banyak hal aku ceritakan. Banyak kegelisahan aku ceritakan, banyak pertanyaan ku ucapkan. Harusnya semua itu ku katakan padamu, tapi aku tak pernah bisa mengatakannya.

Kepastian

Masa depan

Tanggung jawab

Sepertinya aku sudah banyak mencoba untuk mengulik sedikit demi sedikit bagaimana pandanganmu tentang semua itu. Tapi hasilnya nihil. Kamu, lari.

Sahabatku banyak memberikan jawaban tentang kegelisahanku. Harusnya aku tahu apa yang perlu kulakukan sekarang. Aku hanya belum siap menanyakannya. Bukan hanya pikiranku yang belum siap, tapi juga hatiku. Bagaimana jika semuanya berakhir lagi seperti sebelumnya?

Memulai lagi semua ini, sebenarnya aku menarik banyak sekali energi. Mengumpulkan keberanian untuk mungkin mengalami lagi hal-hal yang dulu pernah terjadi, mengevaluasi diri dan menahan diri untuk tidak lagi melakukan hal-hal yang salah seperti dulu, ah sebenarnya banyak sekali yang aku takutkan saat memulai lagi semua ini.

Benar saja. Ketakutanku menjadi nyata. Jauh dari harapan yang aku lambungkan sebelumnya. Bersyukurnya, kali ini aku lebih tangguh. Aku tidak lagi menangis hanya karena pesanku tertinggal tak berbalas, aku tidak lagi khawatir kalau kamu berhubungan dengan perempuan lain, aku tidak lagi cemburu (setidaknya aku tidak mengatakannya) untuk hal-hal yang tak jelas. Aku, berusaha sekuat mungkin menekan egoku, menekan rasa kesal, juga kecewa yang kadang menendang-nendang.

Ku rasa, ini memang bukan salahmu, bukan juga salahku. Ini hanya masalah perbedaan harapanku dengan kenyataan bahwa kamu memang bukan seperti yang aku harapkan dalam khayalanku. Maka, aku seharusnya berusaha memahami lebih lagi, berusaha mengenalmu lebih baik lagi, berusaha membuat terbuka dan menceritakan lebih banyak hal lagi.

Ah tulisan ini sepertinya membuatku terkesan menjadi korban, sedangkan kamu pelaku. Persis seperti sebelumnya. Padahal sejatinya aku yang selalu tak bisa menerima kenyataan yang ada.

Aku berusaha untuk sedewasa mungkin semampuku. Agar setidaknya sesuai dengan usiaku.

Sahabatku itu bilang, aku harus segera menemukan jawaban atas tiga pertanyaan besarku itu.

Tapi lagi-lagi aku mengelak. Kenapa kita sibuk meminta kepastian, sedangkan di dunia tidak ada yang pasti. Semua bisa berubah dalam sekejap. Lantas kepastian semacam apa yang harus aku kejar?

Yah, itu hanya pikiran yang aku jadikan pembelaan untuk tidak menanyakannya padamu. Aku seringkali berpikir, jangan-jangan pertanyaan semacam itu justru membebanimu jika aku tanyakan. Tapi sejatinya, jika tak kutanyakan, semua itu justru lebih menjadi beban untukku.

Kata sahabatku, aku seperti lilin. Membakar dirinya sendiri untuk melukai orang lain.

Ya, faktanya barangkali demikian. aku hanya berpura-pura baik-baik saja dengan segala hal yang ingin kutanyakan dalam anganku. Aku berusaha untuk tidak menangis saat memikirkan hal-hal itu.

Tapi, kekuatan mataku untuk tidak menangis ternyata ada batasnya. Bersamaan dengan datangnya hal-hal lain yang memenuhi pikiranku, aku akhirnya kalah. Pertahananku hancur lebur. Ada hari-hari dimana air mataku selalu membanjir setiap malam. Hanya Allah dan barang-barang di kamarku yang tahu seperti apa tangisku selama itu. Bahkan sahabat-sahabatku tak ada yang tahu. Yang mereka tahu adalah saat aku bertemu mereka, aku dalam keadaan baik-baik saja, tersenyum tanpa beban.

Ah, harusnya aku tak menuliskan ini disini. Sayangnya aku sudah tidak kuat memendam semuanya sendirian.

----------------------------------------------------------------------------

A random thought
130919

Komentar