Morning Afterthought

Pagi ini, mengawali hari dengan membaca Instagram story mas Gun, nama panggilan seorang penulis yang akhir-akhir ini ku ikuti media sosialnya, Kurniawan Gunadi. Beberapa bukunya juga sedang dalam proses kubaca.

Tulisannya, pikirannya, seringkali membuatku berpikir, merenung, dan tergugah. Beberapa tulisannya membahas tentang pernikahan dan rumah tangga, sesuatu yang sejak awal tahun lalu seringkali mampir di pikiranku.

Sebagai seorang perempuan yang cenderung perasa, aku lebih banyak menggunakan perasaan dalam memikirkan pernikahan. Tetapi melalui tulisan mas Gun, bahkan dari sekedar Instagram story-nya, aku mulai belajar satu hal ketika memikirkan pernikahan : menyalakan logika.

Ya, ternyata banyak sekali hal tentang pernikahan yang perlu dipikirkan matang-matang menggunakan logika, bukan sekedar dengan perasaan. Salah satu yang membuatku merenung pagi ini adalah story ini :
(Sumber : Instagram @kurniawan_gunadi)
Selama ini, aku tidak pernah terpikirkan karakter ini sebagai salah satu kriteria pasangan. Aku hanya berpikir, aku tidak ingin dikekang atau diminta hanya mengikuti semua keinginan pasangan. Story' ini membuatku tersadar akan kriteria pasanganku terkait hal ini secara gamblang : seseorang yang mau mendukung apapun keinginanku dan mimpiku.

Bukan, bukan berarti semua keinginanku harus terwujud atau dituruti. Tetapi, aku ingin keinginanku dan mimpiku didengarkan. Dia mau mendengarkan dulu alasan-alasan keinginanku, alasan-alasan mimpiku, tanpa langsung memberi keputusan ya atau tidak. Dia mau menjadi teman diskusi yang memberikan sudut pandang objektif untuk mimpiku, apakah perlu kulanjutkan atau tidak. 

Aku sadar, selama.bertahun-tahun, pernah ada beberapa momen dimana aku menjadi pemberontak karena merasa dikekang, merasa keinginannya tidak didengarkan secara utuh dan langsung diberi justifikasi. Semakin dilarang, kecenderunganku untuk memberontak justru semakin besar. Dan semua itu terasa berubah setelah aku mulai merantau dan kuliah. Keinginanku mulai didengarkan, mereka memberi ruang untuk aku bergerak dan mengambil keputusan, menjadi teman diskusi, dan mendukung apapun keputusanku setelah diskusi panjang dengan pendapat dan sudut pandang masing-masing. Saat itu, rasionalitasku menjadi lebih jelas. Aku tahu langkah yang perlu kuambil. Pun saat ada hal yang berlawanan, aku tahu bagaimana harus bersikap dan bernegosiasi jika perlu.

Yaa... Aku hanya ingin keinginanku dan mimpiku didengar. Jika itu baik, maka aku akan didukung dengan bimbingannya. Jika itu buruk, aku bisa mundur tanpa harus merasa dijustifikasi dan dikucilkan mimpi-mimpinya.

Hai, jika kamu (calon pasanganku kelak) membaca tulisan ini, pilihanmu ada 2 : maju terus dan belajar menjadi sosok yang kuharap kan, atau mundur perlahan dan cari sosok yang tepat untukmu. 

Bms
150520

Komentar