Time Will Heal Your Wound

 Image result for time heal your wound



Di dunia ini, siapa yang tidak pernah terluka? Di dunia ini, siapa yang tidak pernah berduka? Bahkan Rasulullah SAW. pun berduka dan menangis ketika ditinggal istri tercintanya. Apalagi manusia biasa seperti aku. Jika boleh kukatakan, kita hidup untuk terluka. Karena tidak ada fase hidup kita yang dilalui tanpa luka. Ketika kita kecil, ku rasa kita pun pernah terluka, hanya saja kita tak ingat. Semakin kita bertumbuh, semakin kita paham akan perasaan, kita akan semakin mudah menyadari bahwa kita terluka. Mudah mengatai diri bahwa tengah terluka.

Kadang aku pun berpikir, seandainya tak ada luka, hidup pastinya akan lebih mudah. Tapi benarkah? Kalau mau berpikir lebih jernih, jika luka itu benar tak ada dalam hidup, jika kita tak bisa merasakan sakit, lalu darimana kita belajar? Darimana kita mengambil hikmah? Bukankah luka yang mengajarkan kita banyak hal? 

Tidak ada yang mengatakan bahwa melewati sebuah luka itu mudah. Luka, sudah pasti sakit. Luka bekasmu terjatuh saja bisa membuatmu tak enak melakukan banyak hal, apalagi luka perasaan. Ia tak terlihat, hanya bisa dirasakan. Pun tidak ada yang mengatakan bahwa melalui sebuah luka itu tak mungkin. Jika kita terluka, kita hanya perlu bertahan sekuat yang kita bisa. Tak apa jika butuh waktu lama untuk benar-benar sembuh, tak apa jika kamu menangis karena tak kuat menanggung sakitnya, tak apa, sungguh itu manusiawi. Semua itu pasti akan sembuh seiring berjalannya waktu.

Time will heal your wound.

Kurasa pepatah itu benar adanya. Kita mungkin tak sadar bahwa luka kita sembuh seiring berjalannya waktu. Kita merasa bahwa luka itu masih ada terus menerus, tapi pernahkah kamu sesekali membandingkan rasa sakitnya dengan dulu kala saat luka itu pertama kali muncul? Rasa sakitnya pasti sudah jauh berbeda. 

Biar kuceritakan beberapa luka yang paling aku ingat. Tahun 2015. Itu adalah salah satu tahun paling menyakitkan untukku. Di pertengahan puasa Ramadhan tahun itu, seorang anggota keluargaku yang begitu dekat denganku pergi untuk selamanya. Ia yang ikut merawatku sejak kecil pergi, aku tak bisa lagi menemukannya lagi di ruang tengah ketika aku pulang dari rantau. Tentu saja aku terluka, tentu saja aku menangis. Meski aku harus berpura-pura kuat di hadapan ibuku, ayahku, adik-adikku, dan keluarga besarku. Aku menahan semua rasa sakitku sebisaku, aku tak menceritakan apapun terkait peristiwa itu yang pada akhirnya meninggalkan trauma besar yang belum sepenuhnya hilang hingga detik ini. Itu adalah saat-saat terburuk dalam hidupku, dimana aku hanya bisa menceritakan kesedihanku pada DIA, dimana tak ada seorangpun yang benar-benar ada disampingku untuk menguatkanku. Aku benar-benar hanya bergantung pada diriku sendiri. Hingga puncaknya aku sakit dan kehilangan 6 kg berat badanku. Seminggu setelah kepergian beliau, meski belum pulih sepenuhnya, aku harus pulang ke tanah rantau untuk menyelesaikan urusan akademikku (saat itu aku tengah sibuk menyiapkan adminitrasi kerja praktek di Bogor). Kamu tahu apa yang terjadi ketika aku tiba di tanah rantau? Ponselku berbunyi nyaring.

"Na, pakdhe meninggal."

Dalam rentang waktu satu minggu, aku kehilangan dua anggota keluargaku. Ibuku kehilangan dua orang kakaknya. Aku tak tahu apa yang kulakukan saat itu. Aku ingin menangis tapi air mataku tak mampu keluar sebanyak yang aku inginkan. Aku tak diizinkan pulang oleh ayahku dan memintaku untuk menyelesaikan urusan di tanah rantau. Ketika pada akhirnya aku pulang pun, aku berpura-pura baik-baik saja. Demikian pula keluargaku. Luka-luka itu berusaha kami sembunyikan dan kami sembuhkan sendiri.

Beberapa bulan setelahnya, di bulan kelahiranku. Satu minggu sebelum ulang tahunku. Satu minggu sebelum ujian akhir semester VI. Lelaki yang begitu aku sayangi, tiba-tiba harus masuk rumah sakit. Ia sakit. Aku tak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu lewat tulisan. Jika kamu pernah mengalaminya, kamu pasti tahu bagaimana rasanya saat orangtuamu sakit hingga harus dirawat di rumah sakit. Bahkan setelah itupun ia harus berulang kali check up hingga akhirnya bisa pulih kembali (alhamdulillah). Aku ingat sekali, saat itu aku sama sekali tak bisa belajar untuk ujian akhirku. Baru selembar catatan kubaca, mataku sudah basah kembali. Baru aku mulai berusaha fokus, aku meraih ponselku dan menanyakan keadaan ayahku. Aku pasrah akan hasil ujian akhirku saat itu, karena yang terpenting bagiku ketika itu adalah bahwa ayahku baik-baik saja. Tentu saja peristiwa ini meninggalkan luka lain di hatiku. Luka yang tertoreh diatas luka lama yang belum benar-benar sembuh. Trauma yang kualami semakin bertambah, tapi aku tak memberi tahu siapapun.Semua luka yang berlapis-lapis itu, trauma-trauma itu, ku lalui semuanya perlahan. Sendirian, hanya mengandalkan lantai untuk ku menangis ketika benar-benar tak sanggup lagi menahan sakitnya. Orang-orang disekitarku, tak tahu banyak tentang semua luka itu, tentang betapa banyak trauma yang tersisa dari peristiwa bertubi-tubi itu. Sengaja aku tak banyak bercerita, karena aku tahu yang paham sakitnya hanya aku sendiri. Tak akan ada yang lebih memahami luka-luka semacam itu, kecuali mereka pernah mengalaminya sendiri.

Sampai detik ini, jika aku mengingat lagi masa itu, aku masih menangis. Pun trauma-trauma yang ditinggalkan masih belum sepenuhnya hilang. Tapi aku bersyukur bahwa kenyataannya, setelah waktu berlalu beberapa saat, aku tetap baik-baik saja. Aku masih bisa tertawa, aku masih tersenyum seperti biasanya. Luka-luka itu tanpa kusadari berkurang sakitnya perlahan-lahan. Luka yang kualami tentunya belum seberapa jika dibandingkan orang lain. Aku rasa diluar sana banyak orang-orang yang lukanya jauh lebih dalam daripada aku, ada orang yang traumanya lebih menyakitkan daripada aku, ada orang lain yang lukanya sama-sama disembuhkan oleh waktu dan terus berusaha bertahan sambil menghebatkan diri. Aku masih mengingat luka-luka itu, tapi aku tak lagi menangis sekeras dulu. Aku sudah jauh lebih baik saat ini.

Setelah melalui semua itu, aku benar-benar percaya bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Waktu adalah obat terbaik untuk luka perasaan. Kita mungkin tak percaya saat ini, tapi tunggulah hingga waktu berlalu. Jika tetiba kamu teringat akan lukamu setelah sekian lama, cobalah kau bandingkan rasanya. Apakah sesakit dulu? Seperti yang kubilang diatas, jawabannya pasti tidak. Luka itu boleh saja masih ada, tapi rasa sakitnya akan jauh lebih ringan saat ini. 

Kalau saat ini, kamu tengah merasakan sakit dan luka yang luar biasa. Bertahanlah. Aku percaya itu sulit karena aku pun pernah melaluinya. Tapi ingatlah orang-orang di sekelilingmu. Jika kamu tak bisa lagi menanggungnya sendirian, mendekatlah, aku yakin ada orang-orang yang akan merangkulmu dan membantumu membalut lukanya. Teruslah berjalan bersama waktu. Ketika tiba saatnya, kamu akan sadar bahwa langkahmu bersama sang waktu membawamu pada kesembuhan lukamu.


-fiadesi
270817 10:56
YK

Komentar