Hujan dan Sepi

hujan4-165ae0be00d4882dc4d94a4128f9053c.jpg
DonPress.com
Hujan, semua orang pasti tahu bagaimana rasanya hujan. Bagaimana suasananya, bagaimana suaranya, bagaimana rasanya basah karena hujan, bagaimana rasanya terjebak hujan. Ku pikir semua orang pernah merasakannya. Yang berbeda adalah tidak semua orang menyukainya. Ada yang mengeluh ketika hujan turun, ada pula yang berteriak kegirangan ketika ia datang. Ku pikir selalu ada alasan dibalik reaksi orang yang berbeda-beda ketika hujan datang. Bagi petani yang menanti hujan untuk mengairi lahannya, kedatangan hujan adalah berkah. Namun bagi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, kedatangan hujan adalah musibah. Hujan, ia disukai saat dibutuhkan, tapi dirutuki saat ia (seolah-olah) membuat masalah. Padahal masalah itu datang bukan karena salahnya, tetapi karena itu manusia sendiri.

***

Sepi, ada orang yang menyukai sepi karena tak suka keramaian. Ada pula orang yang menyukai keramaian dan sangat membenci sepi. Tapi ada pula orang yang meyukai keduanya, tergantung kondisi hatinya, pikirannya. Pada satu titik, seseorang akan membutuhkan waktu sendiri, suasana yang tenang dan sepi. Keramaian akan menjadi membosankan ketika terlalu sering dilewati. Sepi pun demikian. Terlalu lama membiarkan sepi menyelimuti akan membuat seseorang jenuh. Benci dengan kesepian yang tanpa suara. Benci sendiri tanpa seorang pun yang bisa diajak sekedar bertukar sapa. Kesukaan seseorang pada sesuatu pasti akan sampai pada batasnya. Demikian pula dengan kesukaan seseorang pada keramaian dan sepi.

***

Aku, entah sejak kapan mulai menyukai hujan. Bau tanah yang mengudara ketika hujan mulai turun, terasa begitu menenangkan, menyejukkan. Suara bulir-bulir hujan yang jatuh dan bertemu dengan genting juga dedaunan terdengar begitu merdu. Hawa dinginnya terasa nyaman dan membuatku tenang hingga mudah terlelap. Namun di suatu titik, aku mengalami ketika hujan terasa begitu menyakitkan. Hujan di siang hari itu, saat aku menangis tanpa seorang pun yang tahu. Hujan ketika aku menyaksikan seseorang yang aku harap akan menyapaku, namun ia tetap diam hingga akhir. Hujan di hari itu, rasanya begitu dingin, menusuk, menyakitkan. Lalu, apakah sakitnya hujan siang itu menghapus rasa sukaku pada hujan? Kurasa tidak. Satu peristiwa pahit yang menyangkut hal yang kamu sukai tak seharusnya mampu menghapus rasa sukamu pada hal itu. Karena kamu menyukai hal itu lebih lama, lebih banyak, dibandingkan rasa sakit yang datang sekali. Apakah masuk akal, satu peristiwa menghapus begitu banyak hal manis yang pernah kamu lalui bersama hujan? 

***

Aku, menyukai sendiri. Aku suka melakukan banyak hal sendiri. Tapi pada beberapa kesempatan, aku sadar bahwa ada masa dimana aku ingin ditemani dan tak suka sendiri, tak suka sepi. Aku ingin ada orang disekitarku, yang bisa kuajak bicara, berdiskusi tentang berbagai hal, juga menceritakan kekhawatiranku. Di masa-masa itu, aku akan merutuki sepi. Merutuki mengapa tak ada siapapun di sekitarku, mengapa tak ada seorangpun menyapaku dan bertanya "ada apa?" lalu ia akan dengan senang hati mendengarkan apapun yang ingin kukatakan. Mungkin ada orang di sekitarku, tapi untuk menceritakan apa yang ada di pikiranku, aku butuh mereka yang membuatku nyaman. Yang membuatku tanpa sadar menceritakan kekhawatiranku tanpa takut akan ditertawakan. Sepi, pada masa-masa aku membencinya, ia bisa membunuhku. Ia bisa menyiksaku hingga rasanya ingin menangis namun tak tahu apa sebabnya. Sepi, pada masa-masa itu pula, ia akan mengundang banyak kenangan pahit dan kekhawatiran dari masa lalu.

***

Lalu bagaimana ketika hujan dan sepi datang bersamaan? Saat kesepian menguasaiku, bahkan hujan pun seolah tak sanggup mengikisnya walau sedikit. Bahkan kadang, hujan yang datang kala sepi membuat sepi kian menjeratku. Hujan yang datang bersama sepi akan memunculkan semua kenangan pahit dan manis yang telah terpendam jauh di alam bawah sadarku. Semua kenangan itu, pada akhirnya akan membuatku merasa kosong. Karena di masa kini, mereka yang ada dalam kenanganku tak bisa kuraih semudah itu. Jarak telah membentang, kesibukan menghadang. Pertemuan, tanpa ada keberanian dan pihak yang mengalah, ia tak akan pernah terjadi. Hampa. Pada akhirnya itu yang akan hadir ditengah hujan dan sepi. Kenangan yang menyesakkan. Ketika kehampaan itu datang, aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak bisa. Alasan yang ada tak cukup kuat untuk memicu kelenjar air mataku mengeluarkan isinya, meskipun hatiku ingin menumpahkannya untuk setidaknya sedikit mengurangi kehampaan itu. Pada akhirnya, disinilah aku. Bicara pada layar laptop tuaku lewat kata-kata. Berharap suatu hari ada yang membaca tulisan ini. Hanya dengan dibaca, setidaknya aku tahu bahwa masih ada orang di luar sana dan bahwa aku tidak sendirian meski pada kenyataannya di kamar ini, di ruang ini aku sendirian.

Ingatlah, bahwa menyukai dan membenci sesuatu selalu ada batasnya. Ada masa kadaluarsa. Ketika masa kadaluarsa itu tiba, segalanya bisa berubah dan berbalik arah.

-fiadesi
130617 12:48 AM


Komentar